085762369315 omelindotcom@gmail.com

Jurnalis

Najwa Shihab merupakan seorang presenter cerdas dan kritis. Ia juga dikenal sebagai pribadi yang penuh integritas dan dedikasi tinggi saat menjalankan profesinya. Sosoknya yang tegas membuat Najwa dianggap sebagai seorang perempuan inspiratif.

Aparat yang tak dipercaya, memicu ganasnya amuk massa. Lantaran hukum mudah terbeli, membuat siapa saja bisa jadi polisi.

Banyak yang ingin jadi bintang di layar kaca, bahkan jadi obsesi dan cita-cita. Padahal tak mudah berperan di depan kamera, harus mengatasi berbagai dilema.

Di tanah kita agama dan tradisi saling memberi arti, membuka peluang untuk saling menghargai.

Tak ada orang istimewa di penjara, karena mereka hanyalah narapidana. Walau pernah jadi pejabat, tetap saja statusnya penjahat.

Kepemimpinan yang gigih bekerja, niscaya hasilkan perubahan yang kasat mata. Mengentaskan persoalan dengan nyata, bukan sekadar bumbu retorika.

Setiap hukum yang dipakai menindas, pengacara seharusnya hadir mewakili tertindas.

Bagi rakyat, politik bukan urusan koalisi atau oposisi tetapi bagaimana kebijakan publik mengubah hidup sehari-hari.

Gelapnya misteri kejahatan bisa dibongkar ilmu pengetahuan. Forensik dapat menjelaskan yang buram, mengangkat bukti-bukti yang karam.

Di negeri yang penuh muslihat, korupsi seolah jadi perkara lumrah. Perburuan menjadi paling kaya, menjadi hobi para abdi negara.

Seumur hidup membebaskan diri dari sistem patriaki, benteng terakhir perlawanan terhadap globalisasi.

Pilkada langsung dan tidak langsung hanya soal cara, mencari pemimpin yang bermutu adalah tujuannya.

Rakyat perlu para penegak yang berwibawa, bekerja lurus demi keadilan dengan bangga. Karena kita tidak membayar seragam mereka, hanya untuk menegakkan hukum rimba.

Saat pragmatisme menjadi sobat kekuasaan, idealisme yang akan menyemai perlawanan.

Saat tembok kelas sosial menganga, penderitaan manusia tinggal jadi berita. Setiap hari dalam ancaman nasib, hari ini mati atau sekadar bertahan lagi.

Apa karena hidup orang kecil patut menderita, dan orang miskin pantas terhina? Sebagai tumbal mereka tersisa jadi catatan kaki.

Nyawa manusia bukan tragedi tontotan dan statistik belaka, ya, lebih baik tidak berangkat terbang daripada tidak pernah tiba.

Dalam kondisi darurat korupsi, pejabat negara tetap mencuri silih berganti. Sebanyak koruptor masuk penjara, sebanyak itu pula regenerasinya menggarong negara.

Bagaimana mencari pemimpin dengan hemat dan bebas korupsi, di tengah kondisi kepartaian berbiaya mahal tapi miskin legitimasi.

Mereka berani mengambil posisi, bahkan berlaku bak politisi. Bersikap gamblang dan berbicara lantang, karena percaya pada sang penantang.

Sebab rakyat yang beri kuasa, rakyat juga yang membayar bea. Karena presiden memang bukan raja dan istana bukanlah pesanggrahan keluarga.

Karena pengekangan hanya melahirkan pembungkaman dan kemandirian disalah arti dengan ketundukan.

Layanan publik dibisniskan, urusan warga jadi dagangan. Orang miskin jadi korban, lantaran dianggap hanya diam.

Segelintir oligarki yang menguasai aset negara, sudah waktunya dihukum keras dengan mosi tidak percaya.

Negara akan kuat senantiasa, saat rakyatnya terdidik untuk berdaya. Jika sejarah menuju lebih sempurna, Indonesia yang jaya sudah di depan mata.

Suara rakyat coba dijaring, dengan berbagai iming-iming. Visi misi kadang dibahas, tapi banyak yang pilih jalan pintas.

Darimana datangnya inspirasi, dari visi turun ke kerja keras tanpa henti. Tak sedikit orang bervisi, tapi segelintir yang mampu menggerakkan banyak pribadi.

Ilmu jangan hanya obyek hafalan, ilmu untuk memahami dan menuntaskan persoalan.

Perbaikan seluruh transportasi menjadi momentum, kesalahan dan penyelewengan tak boleh lagi diberi maklum.

Pertumbuhan industri penerbangan Indonesia memang pesat, tapi apalah artinya murah & banyak jika berarti mengkompromikan arti selamat.

Mencaci lokalisasi sebagai laku kebejatan, berempati atas alasan keadilan. Urusan menjaga moral publik, berhadapan kepentingan bertahan hidup.

Politisi yang tiba-tiba lupa untuk siapa dia berdiri, terbelenggu oligarki dan godaan duniawi.

Putusan majelis kehormatan harus jadi renungan, adakah yang paling memuakkan yang belum dilakukan anggota dewan?

Korupsi merajalela tanpa henti, dicontohkan pejabat silih-berganti. Atas nama partai bahkan agama, korupsi selalu menemukan justifikasi.

Pelacuran bisa dilihat berbeda-beda, masalah agama atau sosial semata. Keduanya punya pembenaran, atas nama moral atau alasan pengawasan.

Untuk sebuah kejahatan luar biasa, korupsi ditangani dengan sangat biasa-biasa. Penjaranya tak membuat efek jera, hukuman finansialnya cuma ala kadarnya.

Gerak-geriknya mutlak dibatasi, di balik dinginnya jeruji besi. Itulah fungsinya pemenjaraan, sebagai bentuk penghukuman.

Jadi apa pelajaran tembak mati dan tiang gantungan? Berikan jawaban kematian bukan perdebatan yang menyimpan keraguan.

Saat pemberi perintah tertangkap, orang suruhan pun kena perangkap. Mereka mungkin hanya korban, nafsu ketamakan para atasan.

Tokoh perubahan datang alamiah, tanpa kosmetik dan permainan citra. Tercipta bukan polesan sesaat, namun kiprah dan pengakuan orang banyak.

Mereka yang menjadi wakil, layak dapat porsi yang adil. Tapi penting untuk tahu diri dan saling mengerti posisi.

Sebelum kita bicara urusan tata-cara yang rumit, mari kita koreksi lebih dulu sistem kepartaian kita yang sakit.

Pejabat yang gemar mencari rente dengan menjual negerinya, pada dasarnya telah membinasakan dirinya.

Penguasa terus menerus mengawasi, sebab dicurigai berbuat subversi.

Publik niscaya akan sigap mencatat, siapa yang menjabat dengan penuh martabat.

Sebab media punya kewajiban publik, menyuguhkan hal penting menjadi menarik.

Tindakan perempuan diilhami hidup sehari-hari, langkahnya panjang sebab tak hanya mengurus diri sendiri.

Banyak korban orang kecil tak berdaya, berusaha melawan kemiskinan dengan terbatasnya cara.

Mari serius bertanya, sudahkah pejabat publik menjaga amanah. Ketika mereka ikut konvensi, urusan publik siapa mengurusi?

Pemimpin baru harus bisa menjawab kebutuhan, memimpin KPK melewati berbagai karang persoalan. Mutlak mereka yang bernyali, agar keberaniannya tak gampang terkebiri.

Pendidikan memang membuka banyak kesempatan, tapi pendidikan tak otomatis lahirkan kepemimpinan.

Sebab Indonesia adalah barat, tengah dan timur, tak boleh ada bagian yang jatuh tersungkur.

Tapi masih ada yang serius mau mengabdi dan sungguh-sungguh berniat mewakili.

Bagaimana kita bisa mencabut nyawa, padahal silaf dan salah adalah manusia.

Benarkah hak hidup tak bisa dinegosiasi, meski kejahatannya demikian tak berperi.

Hidup kelewat berharga jika dihabiskan hanya dengan kebiasaan.