085762369315 omelindotcom@gmail.com
Bukankah ini indah? Melihat keindahan orang yang kita cintai-pernah sangat dan masih teringat, berbahagia?

Kehidupan justru terasakan dalam menunggu. Makin bisa menikmati cara menunggu, makin tenang dalam hati.

Dari satu kerusakan, bisa dilahirkan perbaikan, meskipun juga melalui perusakan.

Kekuasaan menjadi kuat ketika disangga, ditopang banyak kekuasaan. Bukan disatukan.

Ia tahu apa yang menjadi haknya, lewat jalan apa pun akhirnya akan jatuh ke tangannya pula. Sebaliknya apa yang belum menjadi miliknya, diberikan di depan mulut pun akan jatuh ke tanah. Gusti Allah sudah mengatur semuanya.

Kekuasaan menjadi tidak baik ketika dia dimenangkan kepada kekuatan lain yang ada.

Kepasrahan – penyerahan secara ikhlas – adalah sesuatu yang wajar. Bukan kalah. Bukan mengalah.

Saya tidak merasa turun pamor atau naik gengsi dengan menjadi wartawan, penulis teks iklan atau presiden, atau sekadar peneliti komik atau acara televisi. Saya tidak merasa bergoyang dari sikap kepengarangan saya, selama saya masih bisa jujur, kreatif, dan terbuka.

Ada yang mengatakan saya ini gila menulis. Ini mendekati benar, karena kalau tidak menulis saya pastilah gila, dan karena gila makanya saya menulis.

Semangat kejujuran ada dalam hati, dalam batin, dalam sukma yang mengatasi ikatan-ikatan yang membatasi diri kita.

Kalaupun berbuat jahat, lebih baik bertobat meskipun tidak menyesal, daripada menyesal tapi tidak bertobat.

Kalau aku mati, aku tak bisa minta dikremasi. Atau dibuang ke laut atau dikubur biasa. Terserah, mati bukan milikku lagi.

Istilah korupsi, suap, pembobolan, mark up, catut, artinya sama. Tidak jujur. Artinya sama, tidak menuju ke keadilan sosial. Artinya, merampas nyawa kehidupan lain.

Ia merasa bahwa pengabdian dirinya adalah bagian yang pokok dari mengutarakan rasa bersyukur.

Tidak semua yang ada di dalam penjara itu napi. Dan tidak semua napi berada di dalam penjara.

Penulis Dan Sastrawan

Arswendo Atmowiloto merupakan penulis dan sastrawan Indonesia. Lahir 26 November 1948, Surakarta dan meninggal pada 19 Juli 2019, Jakarta Selatan. Semasa hidupnya Arswendo terkenal sebagai sastrawan dan wartawan di berbagai surat kabar dan majalah. Di antaranya, menjadi wartawan Kompas dan pemimpin redaksi majalah Hai, Monitor, dan Senang. Karyanya sebagai sastrawan antara lain berupa naskah drama, cerpen, novel, dan puisi. Di antaranya Sleko (1971), Ito (1973), Lawan Jadi Kawan (1973), Keluarga Cemara 1, Keluarga Cemara 2 (2001), Keluarga Cemara 3 (2001), dan lain sebagainya.