Sastrawan
Agus Noor merupakan sastrawan dan juga seorang penulis berkebangsaan Indonesia.Ia menyatakan bahwa menulis baginya adalah cara untuk menyelamatkan diri dari kegilaan. Beberapa penghargaan yang di terimanya diantaranya Anugerah Cerpen Indonesia dari Dewan Kesenian Jakarta pada tahun 1992 untuk tiga cerpennya sekaligus yaitu: Keluarga Bahagia, Dzikir Sebutir Peluru dan Tak Ada Mawar di Jalan Raya, Karya terbaik Majalan Horison selama kurun waktu 1990-2000, dan Anugerah Seni dari Mentri Kebudayaan dan Pariwisata untuk cerpennya, Piknik pada tahun 2006.
Entah kenapa, aku ingin membelikanmu jaket Yang setiap kali kaupakai, akan juga menghangatkan Kerinduanku.
Ada banyak cara berbahagia; Satu-satunya cara yang tak pernah kubisa Ialah melupakanmu.
Barangkali, sekarang ini kebahagiaan memang seperti minyak tanah. Tidak semua orang dengan gampang mendapatkannya.
Bila maaf umpama pintu, Di hatiku engkau bisa masuk, tanpa perlu Mengetuknya lebih dulu.
Jangan lupa membawa kamera untuk mengabadikan penderitaan kami.
Banyak kisah disembunyikan kota, tetapi kita tak tahu maknanya. Apa pentingnya semua itu bagi kita?
Barangkali, sekarang ini kebahagiaan memang seperti minyak tanah. Tidak semua orang dengan gampang mendapatkannya. Bahkan, untuk sekadar bisa menikmati kebahagiaan di hari Lebaran pun kini orang mesti antre berdesak-desakan.
Benarkah masih ada keindahan yang begitu menakjubkan di tengah dunia yang telah berubah menjadi tempat pembantaian?
Bukankah tak ada yang lebih menyenangkan selain kita tahu kapan, di mana, dan bagaimana kita mati? Kita bisa mempersiapkan segalanya sendiri. Kita bisa menantinya dengan tenang. Menyambutnya dengan cara yang paling karib.
Duka hanyalah mentega yang meleleh di penggorengan panas.
Kami sering mendengar kota-kota yang lenyap dari peradaban, runtuh tertimbun waktu. Semua itu terjadi bukan karena semata-mata seluruh bangunan kota itu hancur, tetapi lebih karena kota itu tak lagi hidup dalam jiwa penghuninya.
Kini aku bisa merasakan, betapa bukan kematian benar yang menakutkan, tetapi cara bagaimana kita matilah yang membuat kita ngeri.
Membiarkan kepala laki-laki itu terkulai di pangkuannya, merasakan sisa hangat tubuh laki-laki mengeropos itu dalam pelukannya, sebelum akhirnya kematian mengecup kelopak matanya yang rapuh dan lelah.
Permen akan selalu mengingatkanmu bahwa hidup ini manis dan patut kamu nikmati.
Takdir memang selalu punya cara yang tak terduga agar selalu tampak mengejutkan.
Waktu, cintaku, bukanlah kosmetik kecantikan Waktu ialah caramu memberi harga pada kehidupan. Seperti tungku, waktu, mematangkan jiwamu Dan cinta tak pernah menjadi masa lalu.
Benarkah masih ada keindahan yang begitu menakjubkan di tengah dunia yang telah berubah menjadi tempat pembantaian?
Bukan kematian benar yang menakutkan, tetapi cara bagaimana kita matilah yang membuat kita ngeri.
Hidup yang selalu dipenuhi kebahagiaan ternyata bisa membosankan juga.
Kekasihku, selalu ada yang pantas kita muliakan Yang membuat kita akan terus bertahan Bahkan dalam kepedihan.
Kini aku bisa merasakan, betapa bukan kematian benar yang menakutkan, tetapi cara bagaimana kita matilah yang membuat kita ngeri.
Maneka, Kamu tidak akan pernah mengira. Aku berada di sebuah negara, yang tidak ada di dunia.
Sandra kembali merasakan saat-saat paling sedih masa kanak-kanaknya, saat ia tahu kalau ibunya pelacur. Sungguh, ia tak ingin Bita tahu, kalau ibunya hanya istri simpanan.
Permen akan selalu mengingatkanmu bahwa hidup ini manis dan patut kamu nikmati,” kata mamanya. “Karenanya kamu harus bersyukur bila hidup memberimu nasib yang manis, penuh warna, dan menyenangkan seperti permen.
Para pelancong menyukai kota kami karena kota kami dibangun untuk menanti keruntuhan. Banyak kota dibangun dengan gagasan untuk sebuah keabadian, tetapi tidak dengan kota kami. Kota kami berdiri di atas lempengan bumi yang selalu bergeser.
Waktu yang tak hanya menyelamatkanku dari ketiadaan tapi juga kesedihan. Waktu yang seperti sebuah ciuman.
Tak ada yang bisa menghapus kesedihan bukan? Bahkan, ketika kesedihan itu telah menjelma kristal.
Jangan melihat hujan dari apa yang jatuh, tapi pada apa yang akan tumbuh.
Kalau orang biasa sinis, akan dianggap nyinyir. Tapi kalau filsuf sinis, itu disebut kritis.
Mari seduh lagi sedih pada secangkir kopi ini. Tak ada cinta yang pergi, ia hanya tak ingin kembali.
Begitulah, Nak, sebermula permen muncul di dunia manusia. Ia manis dan lembut karena dipakai sebagai bantal para peri. Tapi ia juga bisa membuat gigi-gigimu rusak dan mulutmu bengkak karena ia dibawa oleh nenek sihir jahat.” Neal mengingat itu sebagai sebuah nasihat agar jangan terlalu berlebihan menikmati apa pun. Karena yang manis pun bisa membuat sakit dan menderita.
Buat apa mereka sekolah? Entar malah jadi kaya,” katanya. “Kalau mereka tetap miskin, malah banyak gunanya, kan? Biar ada yang terus berdesak-desakan dan saling injak setiap kali ada pembagian beras dan sumbangan. Biar ada yang terus bisa ditipu setiap menjelang pemilu. Kau tahu, itulah sebabnya, kenapa di negeri ini orang miskin terus dikembangbiakkan dan dibudidayakan.
AKU sudah resmi jadi orang miskin,” katanya, sambil memperlihatkan Kartu Tanda Miskin, yang baru diperolehnya dari Kelurahan. “Lega rasanya karena setelah bertahun-tahun hidup miskin akhirnya mendapat pengakuan juga.
Seseorang akan benar-benar menikmati pengembaraan ketika ia telah benar-benar terbebas dari bayangan pulang.
Rasanya, ia kini mulai dapat memahami, kenapa seorang pengarang bisa begitu terobsesi pada senja dan ingin memotongnya menjadi kartu pos buat pacarnya.
Seminggu sebelum ia melahirkan Iza, ia bermimpi puluhan peri mungil mendatangi kamarnya, dan menjatuhkan biji-bijian permen ke dalam keranjang bayi. Mimpi yang selalu ia percaya sebagai isyarat baik.
Seseorang akan benar-benar menikmati pengembaraan ketika ia telah benar-benar terbebas dari bayangan pulang.
Tak ada yang bisa menghapus kesedihan bukan? Bahkan, ketika kesedihan itu telah